Entri Populer

Jumat, 06 Januari 2012

filsafat manusia rene Descrates

MAKALAH
FILSAFAT MANUSIA RENE DESCRATES
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah filsafat manusia
Dosen pengampu:  Subhani Kusuma Dewi


Disusun oleh:
Nina Maryati
1071003

PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Rene Descartes adalah seorang filosof yang juga sangat terkenal di eranya. Pendapatny amengenai manusia sangat unik dan berbeda dari yang lain yakni  Descrates Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu. Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada. Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu, khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika.
Pandangannya tentang alam bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res extensa dan res copgitans”. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.
Pendapatnya yang membuat kami tertarik mengkaji makalah ini ialah mengenai Cogito Ergo Sum, saya berfikir maka saya ada. Tak heran jika dalam isi makalah ini akan banyak membahas mengenai pemikiran Descrates.









BAB II
RESUME TEORI

A.  TEORI TENTANG PENGETAHUAN
Rene Descartes adalah seorang filsuf yang menganut paham rasionalis. Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Dalam buku Filsafat dan Iman Kristen 1 diakatakan bahwa prinsip pertama Descartes memutuskan “tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian”. Tujuannya adalah agar manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan yang salah yang diterimanya selama ini dari luar dan berusaha untuk mencari kebenaran yang pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu sendiri sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah.
1)        Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
2)         Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan penyelesaiannya.
3)         Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
4)        Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.
Descartes mengatakan bahwa sebenarnya keempat prinsip di atas bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Descartes (dalam Brown, 2005, hal.30) mengatakan, “rantai panjang dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang lainnya”.

B.       KONSEP TENTANG NATURE MANUSIA
Rene Descartes merupakan seorang filsuf rasionalis. Oleh sebab itu, semua hal yang dapat dipikirkan dan dianggap benar oleh filsuf ini berada dalam ranah rasional. Ketika sesuatu berada diluar rasional dan tidak dapat diinderai, maka hal itu tidaklah benar-benar ada. Indera dan pikiran menjadi indikator untuk mengukur kebenaran suatu hal.
Rene Descartes mengemukakan ide tentang soul-body, melahirkan Cartesian dualism yang sangat populer dan digunakan oleh para filsuf lainnya juga :
a.       Soul (dinyatakan dalam mind): sebuah entitas yang berbeda dan terpisah    dari body, lebih mudah dipahami oleh manusia karena ada proses self reflection/self awareness yang diasumsikan inherent pada manusia.
b.       Body : entitas fisik pada manusia yang tunduk pada prinsip mekanisme fisiologis, sama seperti yang terjadi pada hewan. Namun pada manusia, aktivitas fisik tunduk pada perintah mind.
Dengan demikian faktor mind-lah (kemampuan untuk self-reflection) yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikannya makhluk yang secara intelektual lebih unggul
Menurut Descartes, satu-satunya hal yang tidak dapat diragukan adalah eksistensi dirinya sendiri; dia tidak meragukan lagi bahwa dia sedang ragu-ragu. Bahkan jika kemudian dia disesatkan dalam berpikir bahwa dia ada; dia berdalih bahwa penyesatan itu pun merupakan bukti bahwa ada seseorang yang sedang disesatkan. Aku yang ragu-ragu adalah kenyataan yang tidak dapat disangkal karena apabila kita menyangkalnya berarti kita melakukan apa yang disebut kontradiksi performatis. Dengan kata lain, kesangsian secara langsung menyatakan adanya aku, pikiranku yang kebenarannya bersifat pasti dan tidak tergoyahkan. Kebenaran tersebut bersifat pasti karena aku mengerti itu secara jernih dan terpilah-pilah atau dengan kata lain tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya. Kristalisasi dari kepastian Descartes diekspresikan dengan diktumnya yang cukup terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada (M. Ied Al Munir, http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/56/54).
Dari pernyataan Descartes di atas, sangat jelas bahwa Descartes selalu berupaya mencari kebenaran yang rasionalis dan sistematis, tidak mau dengan hanya sekedar yakin. Lalu dia memulai filsafatnya dengan terlebih dahulu meragukan segala sesuatu. Segala sesuatu diawali dengan rasio, karena iman ragu-ragu. Gejala-gejala atau kejadian apapun yang nampak semua diragukannya, karena ia tidak memercayai semua yang dapat ditangkap oleh inderawi. Apapun yang dipikirkan, itulah yang dia anggap benar. Descartes meragukan segala sesuatu, bahkan eksistensinya sekalipun. Dia meragukan apakah yang sedang dilakukan adalah benar-benar sedang dilakukan atau hanya halusinasinya saja. Dia meragukan apakah yang dilihat itu benar seperti apa yang dilihat atau hanya interpretasi semu saja yang pada kenyataannya tidaklah demikian. Pada intinya, keruguan dan keraguan sajalah yang selalu timbul. Hingga akhirnya untuk menepis keragu-raguan akan keberadaannya sendiri ia mengemukakan teorinya “I think therefore I am”. Ia berpikir ini merupakan suatu jawaban baginya. Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana ia bisa yakin bahwa yang ia pikirkan itu benar? Mengapa ia tidak meragukan teori “I think therefore I am” yang ia kemukakan sebagai jawaban dari keragu-raguannya. Jika memang semua harus diragukan, maka ia juga perlu meragukan kebenaran dari teorinya tersebut. Ketika Descartes mengutarakan bahwa senses dan idea menjadi sumber informasi yang dapat diterima kebenarannya, maka kita perlu tahu sumber dari senses dan idea itu sendiri, sehingga keduanya dapat begitu hebat untuk menjadi 2 validator yang dianggap absolut.

C.      TEORI TENTANG ETIKA RENE DESCRATES
Rene Descartes merupakan salah satu filsuf yang tidak memfokuskan diri pada etika, dia cenderung mendasarkan pemikirannya pada hal yang berbau epistemologi dan metafisika, mungkin hal ini terpengaruh oleh latar belakang pemikiran Descartes yang bersifat rasionalis atau cenderung berpikir kepada sesuatu hal yang dapat dibuktikan untuk memperoleh sebuah kebenaran, sehingga inilah yang diduga oleh beberapa orang sebagai kelemahan dari filsafat Descartes yang justru mengesampingkan filsafat moral dan politik. Di dalam bukunya yang berjudul Discourse on the Method and Meditations on First Philosophy, Descartes menjelaskan tentang pandangan etikanya, tetapi tidak menjelaskan dimana posisinya, apa yang dia percayai secara detail. Meskipun Descartes tidak membahas terlalu luas etika di dalam filsafatnya, tetapi dalam tulisan-tulisannya Descartes menyatakan tujuan dari filsafat adalah untuk merealisasikan hidup yang bahagia, dimana manusia dapat menikmati suatu kebahagian yang sudah dapat dicapainya dalam hidup. “For Descartes, ethics is the science of the end of man, and this end must be determined by reason” (The Philosophy of RenĂ© Descartes - 2, 2002). Dengan kata lain akhir hidup manusia dapat ditinjau oleh rasio manusia. Jika manusia ingin mendapatkan kehidupan yang tenang dan bahagia di akhir hidupnya, maka dia juga harus melakukan sesuatu yang benar. Hal ini dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Rules for the Direction of the Mind, dia mengatakan : “The aim of our studies should be to direct the mind with a view to forming true and sound judgements about whatever comes before it” (Descartes' Ethics, 2008) . Ini berarti dia mendorong setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu dengan menggunakan “view” yang dikendalikan oleh perasaan bahwa sesuatu itu baik untuk dilakukan yang artinya memang ada yang namanya “kebenaran universal” itu.
Dari pemikiran Descartes, ada hal yang masih perlu dipertanyakan kembali. Pertama, akhir hidup manusia itu dapat ditentukan oleh apa yang manusia itu lakukan (suatu bentuk kepercayaan akan akhir hidup manusia). Ini bertentangan dengan prinsip rasionalismenya yang memerlukan bukti dari segala sesuatu. Bagaimana Descartes bisa menjelaskan bahwa akhir hidup seseorang akan mencapai ketenangan dan kebahagiaan jika perilakunya baik sedangkan dia belum melihat akhir hidup seseorang itu secara langsung. Ini berarti dia memakai iman, bukan hanya rasio.













BAB III
ANALISIS TEORI RENE DESCRATES

Apabila di komparasikan dengan teori psikologi yang ada sepertinya akan lebih cocok masuk kepada ranah psikologi kognitif : yakni Perkataan Descartes yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang begitu terpencil atau begitu tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia asalkan mau menggunakan nalarnya. Berbicara mengenai nalar manusia maka kita jelas telah melibatkan proses kognitif dalam otak yang mengolah informasi yang ada yang kemudian dicocokan dengan pengetahuan yang telah tersimpan dalam Long Term Memory. Segala sesuatu yang telah tersimpan pada Long Term Memory nantinya informasi tersebut akan mempengaruhi perilaku selanjutnya.
Aliran psikologi humanisme juga yang sangat populer dengan bahwasany amanusia sejak dilahirkan memiliki potensi untuk berkembang mencapai aktualisasi diri. Perspektif ini sangat optimis terhadap kemampuan manusia sama halnya dengan Descrates sangat menyakini terhadap pikirannya sendiri sehingga kata-katanya yang paling populer adalah Cogito Ergo Sum ( saya berfikir maka saya ada).












BAB IV KESIMPULAN
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya. Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak (Descartes, 1995, hal 34).
Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.




DAFTAR PUSTAKA

Brown, C. (2005). Filsafat dan Iman Kristen. Surabaya: Momentum.
Descartes, R. (1983). La Pensee Karya Prancis Pilihan : Risalah Tentang Metode:Rene Descartes. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/renaisans.html, retrieved on 22 November 2010.